Menurut UNESCO, sejak Taliban melarang pendidikan bagi anak perempuan pada 2021, sedikitnya 1,4 juta perempuan baik anak-anak maupun dewasa kehilangan akses ke sekolah menengah dan universitas. Namun, semangat belajar mereka tidak padam.

Survei PBB yang dilakukan oleh UN Women pada akhir Agustus 2025 menunjukkan mayoritas rakyat Afghanistan mendukung pendidikan bagi anak perempuan. Survei rumah ke rumah terhadap lebih dari 2.000 orang itu mengungkapkan 92 persen responden menilai pendidikan sekolah untuk anak perempuan penting. Dukungan di pedesaan mencapai 87 persen pada pria dan 95 persen pada perempuan. Di kota, baik pria maupun perempuan mendukung hingga 95 persen.

"Hampir selalu hal pertama yang diceritakan anak-anak perempuan kepada kami adalah bahwa mereka sangat ingin belajar dan ingin punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan,” ujar Susan Ferguson, utusan khusus UN Women di Afghanistan.

Afghanistan kini menjadi satu-satunya negara di dunia yang melarang anak perempuan bersekolah setelah kelas enam. Sejak Taliban kembali berkuasa pada 17 September 2021, anak-anak perempuan berdiri di depan pintu sekolah yang tertutup rapat. Banyak di antara mereka yang terkejut dan menangis.

Taliban berdalih pendidikan bagi perempuan tidak sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai budaya Afghanistan. Meski menuai kecaman internasional, kebijakan ini tak berubah. Taliban bahkan terus menerapkan serangkaian larangan yang membatasi hak perempuan, termasuk melarang pendidikan lanjut, bekerja, dan membatasi kebebasan bergerak.

Sardar Mohammad Rahimi, mantan Wakil Menteri Pendidikan Afghanistan, menegaskan dukungan rakyat terhadap pendidikan anak perempuan sudah lama ada. "Mayoritas rakyat Afghanistan mendukung pendidikan bagi putri mereka, ini bukan hal baru," kata Rahimi yang kini mengajar di Institut Nasional Bahasa dan Budaya Timur (INALCO) Prancis.

"Semua survei sebelum Taliban berkuasa menunjukkan perempuan dan anak perempuan di seluruh Afghanistan sangat tertarik pada pendidikan, dan keluarga mereka menuntut didirikannya pusat-pusat pendidikan di wilayah mereka," lanjutnya.

Menurut Rahimi, Taliban memaksakan tafsir syariah yang ketat dan tidak sesuai dengan realitas masyarakat. "Para penguasa memaksakan proyek politik dan program agama yang ketat atas nama syariah kepada rakyat Afghanistan, padahal itu sama sekali tidak sesuai dengan realitas masyarakat di sana," tegasnya.

Dukungan dari Malala

Meski dilarang, banyak keluarga tetap mendukung anak perempuan mereka belajar lewat jalur alternatif, seperti sekolah rahasia, belajar di rumah, kelas daring, atau melalui siaran radio. Aktivis dan LSM internasional seperti Malala Fund turut memberikan dukungan.

Malala Fund, organisasi yang didirikan Malala Yousafzai—peraih Nobel Perdamaian asal Pakistan—terus memperjuangkan pendidikan perempuan Afghanistan. Malala sendiri selamat dari percobaan pembunuhan oleh Taliban pada 2012 karena vokal membela hak pendidikan perempuan.

Kini, Malala secara rutin berbicara di PBB dan forum internasional menuntut tekanan politik terhadap Taliban. Malala Fund berupaya menyediakan pendidikan gratis, aman, dan berkualitas selama 12 tahun bagi anak perempuan melalui berbagai jalur alternatif. Ratusan ribu anak perempuan di Afghanistan telah mendapat manfaat dari program ini.